Sudah setahun terakhir saya mulai aktif kembali berolah raga rutin, tepatnya aktif berlari. Lepas SMA, olah raga secara rutin menjadi wacana terbesar, tingkat kemalasan meningkat drastis karena sudah lelah dengan beban belajar, tugas dan aktivitas organisasi di Kampus, kemudian saat mulai bekerja, akhir pekan menjadi waktu paling ditunggu untuk bangun siang karena punya jam tidur lebih panjang.
Singkat cerita, pada bulan Maret 2016 saya mencoba untuk lari. Tidak mudah untuk saya memulai berlari, meskipun saya sangat suka olah raga, saya selalu menghindari cabang atletik ini. Saat aktif sekolah tenis pun saya lebih rela latihan forehand dan backhand drill 200 bola dibanding harus lari 400 meter. Ketika mulai rutin lari, Mama tidak percaya, menurutnya kalau saya pamit untuk lari, saya akan lari kurang dari 5 menit kemudian banyak jajannya. Belum lagi komentar pedas teman-teman saya, “ngapain sih lari jauh-jauh? Apa yang dicari?” dan yang paling ekstrim, ”lari mulu lo, Ga. Nanti tiba-tiba mati loh”. Makin punya bayangan susahnya saya mulai aktif lari dengan lingkungan yang kurang mendukung?
Dalam waktu kurang dari setahun saya berhasil mematahkan pikiran kalau saya tidak bisa lari, November 2016 saya berhasil memecahkan personal best (PB) 5K dengan waktu 33 menit 25 detik, dilanjutkan dengan PB 10K dibulan Februari dengan waktu 1 jam 13 menit. Setelah itu, didorong pikiran yang cukup nekad mau “merayakan” setahun berlari, saya mendaftar race kategori half marathon yang diselenggarakan bulan April 2017. Catatan waktunya cukup apik, bahkan diluar ekspektasi saya, 21K ditempuh dalam 2 jam 52 menit. Untuk saya yang punya hubungan hate and love relationship dengan lari, catatan waktu tersebut luar biasa. Perlu diingat setiap prestasi harus ada “pengorbanan”. Kalau pengorbanannya waktu dan latihan keras itu sudah pasti, tetapi setahun terakhir tanpa sadar saya mengorbankan badan saya karena memaksakannya untuk terus berlatih dan beristirahat seadanya.
Diawali saat long run untuk half marathon, ada rasa nyeri dibagian lutut kiri. Dugaan awal hanya stres otot yang perlu istirahat, setelah itu langsung kompres dengan es. Kira-kira di awal bulan Mei ini, saya iseng mengunjungi klinik physiotherapy dan berkonsultasi tentang lutut kiri saya, hasilnya nyeri dilutut kiri adalah peradangan dari ankle – shin splints – patella karena beban kaki terlalu berat, dan mulai menjalar ke bagian iliotibial band. Kaki kanan pun mengalami peradangan shin splint yang cukup parah. Saya cukup sadar karena tahun 2006 kaki kiri saya mengalami ankle injury, saya pikir cideranya disebabkan trauma dari ankle injury dan otot ankle yang belum kuat menyebabkan peradangan hingga ke lutut.
Setelahnya saya bertanya apakah masih boleh berlari dengan intensitas ringan? Dan jawabannya tidak. Hal ini untuk antisipasi cidera yang lebih parah, dianjurkan untuk menyelesaikan program terapi sampai pulih total setelahnya dibolehkan berlari dengan intensitas ringan maksimal 30 menit pada pace paling rendah. Patah hati. Saya masih punya beberapa race dengan target PB dalam kurun waktu 2 sampai 5 bulan ke depan. Program latihan juga sudah dibuat dan terpaksa harus dirombak total. Saya mengakui kalau kemauan saya yang terlalu tinggi ini mendorong saya menjadi egois dan tidak mendengarkan keadaan badan. I used to denied that rest is part of training because I was too stubborn, now I realized how important rest is.
Selama proses terapi, sesuai dengan anjuran, saya tidak berlari sama sekali. Hanya melakukan stretching dan strength training yang materinya diberikan saat terapi. Dalam waktu 2 minggu, bagian yang cidera sudah pulih dan saya diperbolehkan untuk mulai lari dengan intensitas ringan. Bisa dibilang baby step. Hadiah saya dibulan Ramadhan tahun ini diberikan cidera dan pengertian lebih. Lari bukan hanya masalah kecepatan atau jarak yang ditempuh, tetapi juga soal kesabaran dan mengerti kemampuan diri sendiri. Perlu diingat juga, lari merupakan olah raga personal yang tiap individu kemampuannya tidak bisa disamakan meskipun mereka berlari pada pace yang sama atau jarak yang sama. Khususnya untuk kita yang bukan atlet profesional, kita masih mau lari sampai tua, kan? Be aware :)
Salam
_igarby
(Gambar: Ilustrasi*)
Kontributor: We Run JKT Komunitas
Komunitas pelari We Run JKT dari Jakarta.